Selasa, 01 Maret 2011

Shalat FIQIH KONTEKSTUAL: -Falsafi(Perspektif Sufi)

FIQIH KONTEKSTUAL: -Falsafi(Perspektif Sufi)
Shalat : Berdasarkan Keterangan Para Imam

Shalat adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, berdasarkan sabda Rasul, “Islam didirikan di atas lima perkara: (1) Mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan-Nya; (2) Mendirikan shalat; (3) Puasa Ramadan (4) Mengeluarkan zakat; (5) Menunaikan Ibadah haji.”(HR. Bukhari Muslim)
Shalat yang telah ditetapkan waktunya ada lima, 17 raka’at. Diwajibkan atas semua orang Islam yang baligh dan berakal, serta suci dari haid dan nifas bagi perempuan. Shalat tidak bisa digantikan oleh orang lain, atau ditebus dengan harta. Disamping yang lima, ada juga kewajiban untuk mengerjakan shalat Jum’at.

1. Batas kewajiban mengerjakan shalat.

a. Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad:
      Selama akal masih berfungsi, seseorang wajib mengerjakan shalat, meski hanya       bisa melakukan shalat dengan hati (isyarat).


b. Menurut Abu Hanifah:
   Orang yang mendekati ajal yang tidak mampu lagi menganggukkan kepala, tidak wajib mengerjakan shalat. Perintah mengerjakan shalat, yang didalamnya menyangkut aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan) adalah untuk menyampaikan hati kepada Allah. Orang yang mendekati ajal, hatinya telah “sibuk” untuk menyatu dengan Allah daripada urusan-urusan lain, sehingga ia tidak perlu melakukan shalat.

2. Tidak bisa mengerjakan shalat karena terjangkit epilepsi (penyakit ayan)

a. Menurut Imam Malik dan Syafi’i:
Orang yang terkena epilepsi tidak wajib meng-qadha shalat-shalat yang ditinggalkan. Saat itu ia tidak dihukumi sebagai mukalaf.

b. Menurut Abu Hanifah:
Orang yang terkena epilepsi yang kurang dari sehari semalam, tidak wajib meng-qadha shalat yang ditinggalkan.

c. Menurut Imam Ahmad:
Orang yang terkena epilepsi harus meng-qadha semua shalat yang ditinggalkan. Ini untuk menjaga kesempurnaan, agar pada hari pembalasan kelak seseorang tidak hadir di hadapan Ilahi dengan ibadah shalat yang kurang sempurna.
Ketentuan yang berbeda di atas adalah untuk kalangan yang berbeda pula. Kewajiban meng-qadha adalah untuk orang-orang tertentu; kalangan ulama dan shalihin. Sedang rukhshah (adanya keringanan tidak wajib qadha) untuk masyarakat awam.

3. Orang Islam yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir dan harus dibunuh. Bagaimana jika mereka meninggalkan shalat karena malas (bukan Menentang)?

a. Menurut Imam Malik dan Syafi’i:
Orang Islam yang tidak mau mengerjakan shalat karena malas harus dibunuh sebagai hukuman. Tapi ia tetap dihukumi sebagai muslim; mayatnya harus dimandikan, dishalati, dikubur dan hartanya bisa diwaris. Seorang tidak bisa dianggap kafir kecuali dengan melakukan dosa-dosa besar.

b. Menurut mazhab Syafi’i:
Orang Islam yang tidak mau mengerjakan shalat karena malas, lebih dahulu disuruh tobat (disadarkan). Bila menolak, maka dibunuh dan jenazahnya tetap dihukumi sebagai muslim. Namun, yang wajib atasnya hanya menshalati (bukan mengkafani dan mengubur.

c. Menurut Abu Hanifah:
Orang Islam yang tidak mau mengerjakan shalat karena malas, harus dipenjara sampai ia mau mengerjakan shalat. Abu Hanifah tidak menetapkan adanya pembunuhan, karena --menurut Abu Hanifah-- Allah sesungguhnya lebih menyukai “perdamaian” dan “perbaikan” daripada “pengrusakan”.
Jika mereka condong pada perdamaian, maka condonglah kepadanya.. “(QS Al Anfal: 61).

Diriwayatkan, ketika Nabi Daud hendak membangun Baitul Maqdis semua bangunan yang ada dirobohkan. “Ya Allah!” kata Daud. “Ini semua (penggusuran), demi pembangunan Bait-Mu. Namun Allah menurunkan wahyu,  “Bait-Ku tidak didirikan di atas pertumpahan darah (penggusuran secara paksa). “Bukankah ini untuk-Mu? “tanya Daud. ”Bebar. Tetapi, bukankah mereka juga hamba-Ku, “ jawab Allah.

Dalam hadis juga dikatakan:
Kesalahan dalam memberi ampunan lebih disukai Allah daripada kesalahan dalam menghukum”.

Karena itu, pengadilan hendaknya tidak mudah menjatuhkan hukuman mati pada orang yang mengucapkan , “Allah Tuhanku dan Muhammad SAW Nabiku, “kecuali dengan sesuatu yang sangat jelas kesalahannya, menurut syariat.

d. Menurut Imam Ahmad:
Orang Islam yang tidak mau mengerjakan shalat karena malas harus dibunuh, meski hanya meninggalkan satu kali.

e. Menurut Jumhur Sahabat Imam Ahmad:
Orang Islam yang tidak mengerjakan shalat karena malas harus dibunuh sebagaimana orang murtad dan jenazahnya dihukumi pula sebagai jenazah orang murtad; tidak perlu dishalati dan hartanya tidak boleh diwaris. Peninggalannya dianggap sebagai harta rampasan.
Namun demikian, semua ketentuan diatas, sebenarnya, tergantung keadaannya. Bila hukuman mati lebih baik untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, maka itu boleh dijatuhkan sebagaimana yang pernah dilakukan para ulama atas Al-Hallaj. Bila tidak, lebih baik ditinggalkan. Dicari bentuk hukuman lain yang lebih disukai.

4. Orang kafir yang ikut shalat di masjid

a. Menurut Abu Hanifah:
Orang kafir yang mengerjakan shalat fardhu atau shalat sunnah di masjid dengan cara berjama’ah bisa dihukumi sebagai muslim, berdasar riwayat bahwa Rasul pernah menerima janji dari seseorang yang hanya mau mengerjakan shalat dua kali (dua waktu) dalam sehari semalam. “Dengan perkataan yang halus dan pelan, semoga ia akan mau mengerjakan shalat dengan sempurna (lima waktu),” kata Rasul.

b. Menurut Imam Malik:
Orang kafir yang mengerjakan shalat hanya untuk mencari keselamatan (perlindungan) tidak bisa dihukumi muslim, walau shalatnya dikerjakan di masjid dan berjama’ah.

c. Menurut Imam Syafi’i
Orang kafir tidak bisa dihukumi sebagai muslim kecuali telah datang sebelumnya dengan mengucapkan kalimath syahadah.



Written By M. Novrianto (The owner of this blog)
Adopted from:
Soleh. Ach. Khudori. 2007. Fiqih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) Jilid II Shalat. Jakarta : PT. Perca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar