Rabu, 02 Maret 2011

Tentang Azan dan Iqamah (Fiqih Kontekstual) Menurut Para Imam

TENTANG AZAN DAN IQAMAH (Fiqih Kontekstual)
Menurut Pandangan Para Imam

1. Hukum melakukan azan dan iqamah

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i:
Melakukan azan dan iqamah untuk shalat lima waktu dan shalat Jumat adalah sunnah. Kaum muslimin, sesungguhnya, tidak memerlukan panggilan yang sangat untuk mengerjakan shalat. Mereka akan segera berangkat shalat dengan sendirinya begitu waktunya telah datang. Sedemikian, sehingga azan sebagai tanda masuk waktu shalat hukumnya –hanya—sunnah.

b. Menurut Imam Ahmad:
Azan masuk kategori fardhu kifayah. Telah cukup azan di satu atau dua tempat di suatu kampung agar masyarakat tidak meremehkan shalat dia awal waktu. Manusia, pada umumnya, baru mengerjakan shalat saat waktu telah nyaris habis. Juga didasarkan atas riwayat:
Kampung yang disana dikumandangkan azan akan aman dari bencana.” (HR Thabari, Ibn Mundzir, Ibn Hajar)


c. Menurut Imam Daud:
Melakukan azan dan iqamah adalah wajib. Tetapi pelaksanaan shalat yang lupa dilakukan azan dan iqamah sebelumnya tidak sah.

d. Menurut Imam Auzai:

Shalat yang tidak didahului azan harus diulangi saat itu juga. Azan adalah pembuka untuk hadir di hadapan Ilahi dengan hati khusyuk dan sempurna. Shalat yang tidak didahului azan, karena itu, tidak akan bisa sempurna, sehingga tertolak sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis.

Selain itu, azan adalah panggilan pertama untuk hadir dalam jama’ah. Masyarakat, pada umumnya, tidak akan datang ke masjid kecuali setelah terdengar “Hayya alas Shalah” dan “Hayya alal Falah”.

e. Menurut Imam Atha’:
Shalat yang tidak dilakukan iqamah harus diulangi. Iqamah adalah tahap kedua dalam persiapan untuk menghadapi Ilahi, sedang ucapan “Allahu Akbar” (takbiratul ikram) adalah tahap ketiga.

2. Kaum wanita tidah diperintahkan azan. Apakah mereka diperintahkan melakukan iqamah?

a. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad:
Kaum wanita tidak disunnahkan melakukan iqamah. Wanita diciptakan bukan untuk menegakkan agama. Kewajiban menegakkan agama hanya atas kaum laki-laki.
b. Menurut Imam Syafi’i
Wanita juga disunnahkan iqamah dalam jama’ahnya sendiri. Perintah untuk menegakkan agama bukan hanya untuk kaum laki-laki, tetapi untuk semua; laki-laki maupun wanita, tua atau muda.

3. Ketinggalan (kehabisan) jamaah

a. Menurut Abu Hanifah:
Orang yang ketinggalan (kehabisan) jamaah harus pula mengerjakan azan dan iqamah, bila akan mengerjakan shalat.

b. Menurut Imam Malik dan Syafi’i:
Orang yang ketinggalan jamaah cukup melakukan iqamah; tidak perlu azan, bila ia akan mengerjakan shalat. Tujuan azan adalah untuk memanggil masyarakat untuk melakukan jamaah. Saat itu, mereka telah datang, hanya saja ketinggalan; jamaah telah selesai. Maka, mereka yang tertinggal cukup melakukan iqamah.

c. Menurut Imam Ahmad:
Yang ketinggalan jamaah lebih baik pula melakukan azan dan iqamah, agar mereka juga mendapat pahala mendengarkan dan menjawab azan.

4. Bacaan azan adalah sebagaimana yang dikumandangkan sehari-hari. Hanya saja, menurut Imam Malik, untuk takbir yang pertama cukup dua kali. Bagaimana bacaan iqamah?

a. Menurut Abu Hanifah:
Lafal iqamah dibaca dua kali-dua kali sebagaimana dalam azan. Tujuannya agar memperbaharui keimanan dan keislaman seseorang yang keluar tanpa sengaja (lupa) dan orang-orang yang sibuk mengurus harta. Diharapkan, bila dalam panggilan pertama hatinya belum bisa “hadir” atau belum siap melakukan jamaah, akan segera siap pada panggilan kedua.

b. Menurut Imam Malik:
Semua lafal iqamah dibaca satu kali

c. Menurut Imam Syafii dan Ahmad:
Semua lafal iqamah dibaca satu kali, kecuali bacaan iqamah (Qodqoomatissholatu) dibaca dua kali.
Ketentuan satu kali-satu kali untuk jamaah orang-orang khusus yang iman dan keislamannya tidak mungkin lagi keluar dan jiwanya senantiasa siap mengabdi kepada Allah.

5. Tentang azan Subuh.
a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafii:
Untuk shalat Subuh boleh dilakukan dua kali azan; tidak makruh. Yang pertama dilakukan sebelum fajar.
b. Menurut Imam Ahmad:
Khusus bulan Ramadan, azan dua kali dalam shalat Subuh adalah makruh. Dikhawatirkan, seseorang yang mendengar azan kedua mengira azan pertama, sehingga masih tenang-tenang makan, minum atau yang lain. Rasul sendiri tidak memerintahkan azan Subuh dua kali kecuali setelah tidak ada kekhawatiran akan keliru.
Bilal melakukan azan di malam hari. Maka, makan dan minumlah sampai kalian mendengar azan Ibn Ummi Maktum,” (HR Bukhari dan Muslim)

Penduduk Madinah paham benar perbedaan suara Bilal dengan suara Ibn Ummi Maktum. Di luar Madinah kemudian di-qiyas-kan pada kejadian itu. Tapi, bila tidak jelas perbedaan di antara keduanya, maka hukumnya makruh.

6. Membaca tatswib (Assholatukhairumminannaum) dalam azan

a. Menurut Imam Syafii dan Ahmad:
Membaca tatswib dalam azan Subuh setelah lafal “Hayya alas Shalah” dan “Hayya alal Falahadalah sunnah.

b. Menurut Abu Hanifah:
Tatswib hanya dibaca dalam azan Subuh dan dibaca di bagian paling belakang. Sebab, bacaan tatswib, sesungguhnya, masih diperselisihkan diantara para ulama, sedang bacaan azan telah disepakati.

c. Menurut Imam Hasan Ibn Shalah:
Tatswib sunnah dibaca di dalam azan shalat Isya, agar masyarakat tidak mudah mengakhiri shalat Isya, sehingga menjadi ketinggalan (kebablasan). Atau, agar mereka tidak meninggalkan jamaah Isya setelah payah bekerja seharian.

d. Menurut Imam Nakhai:
Tatswib sunnah dibaca di dalam setiap azan shalat fardhu. Kebanyakan manusia, setelah mendengar azan justru mengantuk, hendak tidur atau masih tidur. Muadzin mengingatkan mereka bahwa mendahulukan shalat adalah lebih baik.

7. Muadzin harus seorang muslim dan berakal. Tidak boleh seorang wanita azan untuk jamaah laki-laki dan anak-anak untuk jamaah orang dewasa. Tidak boleh pula muadzin dalam keadaan hadas kecil. Jika dalam hadas besar?

a. Menurut Abu Hanifah dan Syafii:
Azan orang yang menanggung hadas besar harus diulang. Tujuan azan untuk mengajak masyarakat hadir di hadirat Ilahi. Maka, tidak pantas dilakukan oleh orang yang berhadas besar (junub)

b. Menurut Imam Ahmad:
Azan orang junub tidak perlu diulang. Azan adalah zikir, bukan Alqur’an.

8. Upah untuk muadzin

a. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad:
Mengambil upah sebagai muadzin, hukumnya tidak boleh. Azan dilakukan demi syiar Islam dan itu berarti kewajiban. Tidak boleh mengambil upah dari sesuatu yang diwajibkan.

b. Menurut Imam Malik dan sebagian besar sahabat Syafii:
Mengambil upah sebagai muadzin, hukumnya boleh. Azan adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin yang itu butuh tenaga pada setiap waktunya. Maka, muadzin boleh menerima (mengambil) upah darinya. Para Khulafa ar-Rasyidin juga menggaji para muadzin. Begitu pula Rasul, suatu ketika memberi sejumlah perak kepada Abu Mahdzurah dan semua sahabat tahu bahwa pemberian itu karena Abu Mahdzurah seorang muadzin.

9. Muadzin yang tidak fasih bacaannya (pelat)

a. Menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafii:
Bacaan azan yang tidak fasih tetap dianggap sah; tidak sampai merusak makna azan yang berfungsi sebagai pemberitahu masuknya waktu shalat.

b. Menurut sebagai sahabat Imam Ahmad:
Bacaan azan yang tidak fasih dihukumi tidak sah. Bacaan yang tidak fasih berarti tidak sesuai dengan perintah azan. Ini masuk dalam pengertian umum hadis:
Semua amal yang tidak berdasarkan pada kami, tertolak”. (HR Ibn Hajar, Ibn Abul Barri dan Al-Qurthubi)

Maksudnya tidak sah.

10. Mengucapkan “As-Shalatu Jami’ah” sebelum mengerjakan shalat hari raya, shalat gerhana (matahari atau bulan) dan shalat Istisqa’ adalah sunnah.

11. Yang dimaksud shalat wustha

a. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad:
Shalat wustha adalah shalat Ashar

b. Menurut Imam Malik dan Syafii
Shalat wustha adalah shalat Subuh.
Ketentuan Abu Hanifah dan Ahmad di atas amat berat. Tidak ada orang yang mampu menerima tajalli Ilahi dalam shalat Ashar, kecuali orang-orang tertentu dari kalangan aulia, berbeda dengan shalat Subuh. Kesulitan tersebut berasal dari kenyataan bahwa dalam Shalat Ashar tidak ada jahr (bacaan keras) yang itu –sebenarnya—merupakan rahmat dan pertolongan.
Kegunaan mengetahui shalat wustha adalah agar seseorang bisa mempersiapkan diri untuk lebih khusyuk dibanding shalat yang lain. Imam Ali Al-Khawash berkata, “Shalat wustha kadang terjadi pada Shalat Ashar, kadang terjadi pada shalat Subuh.


Written By M. Novrianto (The owner of this blog)
Adopted from:
Soleh. Ach. Khudori. 2007. Fiqih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) Jilid II Shalat. Jakarta : PT. Perca






Tidak ada komentar:

Posting Komentar