Rabu, 02 Februari 2011

Syarat dan Sifat Shalat (Fiqih Kontekstual) Menurut Para Imam

TENTANG SYARAT DAN SIFAT SHALAT (Fiqih Kontekstual)
Menurut Pandangan Para Imam

1. Tentang menutup aurat

a. Menurut Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad:
Menutup aurat termasuk syarat sah shalat. Shalat dalam keadaan aurat terbuka berarti tidak sopan, menyebabkan seseorang –selamanya—tidak akan masuk dalam “lingkaran” shalat. Artinya, ia sama dengan orang yang belum (tidak) mengerjakan shalat. Atau sebagaimana orang yang mengerjakan shalat dalam keadaaan –membawa—najis; tidak sah.

b. Menurut pengikut Imam Malik, ada dua macam:
1. Menutup aurat termasuk salah satu syarat sah shalat, bagi yang mampu. Sedemikian, sehingga jika seseorang mampu menutup aurat tetapi melakukan shalat dengan keadaan terbuka, maka batal shalatnya.


Sesungguhnya, tidak ada satu pun yang bisa disembunyika di hadapan Ilahi. Tidak ada perbedaan antara shalat dengan berpakaian maupun telanjang. Menutup aurat ketika shalat hanya demi kesempurnaan yang tidak sampai menodai keabsahannya bila di tinggalkan, meski itu berdosa. Ini, sebenarnya, adalah salah satu dari kebiasaan masyarakat yang kemudaian “diikuti” oleh syariat. Allah berfirman:
Hai anak Adam. Pakailah ‘zinah’ (pakaian yang menutupi aurat) di setiap –akan memasuki—masjid” (QS Al-A’raf : 31)

Imam Ali Al-Khawash berkata:
“Orang yang hadir di hadapan Ilahi dengan pakaian yang bagus berarti memperlihatkan nikmat yang diberikan. Seolah ia berkat, ‘Lihatlah apa yang diberikan Allah kepadaku.  Lihatlah apa yang diizinkan Allah kepadaku untuk masuk dalam bait-Nya, bermunajad dengan Kalam-Nya. ‘Ini berbeda bila seseorang hadir dengan pakaian kotor dan berbau, yang itu bisa dianggap kufur nikmat’

Imam Ali Al-Khawash juga berkata:
“Perintahkan budak perempuanmu menutup aurat ketika mengerjakan shalat sebagaimana wanita merdeka, demi hati-hatinya. Bisa jadi, Illat (alasan hukum) dalam masalah ini bukan karena rendahnya kedudukan atau tidak adanya syahwat ketika melihat mereka. Sebab, hal itu akan bertentangan bila budak perempuan tersebut ternyata lebih cantik dan lebih menarik dibanding wanita merdeka.

Adapun mereka yang berkata bahwa aurat budak perempuan seperti kaum laki-laki adalah pendapat dari segolongan ulama salaf yang menjadikan illat wajibnya menutup aurat bagi wanita adalah kecenderungan hati laki-laki ketika memandangnya. Sedang perempuan budak, biasanya tidak menimbulkan syahwat, kecuali hanya pada satu dua orang.


Imam Ali Al-Khawash berkata lagi:
“Wanita merdeka hanya membuka wajah dan kedua telapak tangan ketika melakukan shalat adalah untuk mengagungkan Ilahi. Para arif berkat, ‘Saat itu kaum wanita berada di hadira Ilahi dan dalam penjagaan-Nya seperti anak singa dalam dekapan induknya. Tidak boleh kaum laki-laki mencuri pandang padanya’. Atas dasar ini pula mengapa kaum wanita juga membuka wajah ketika melakukan ikram. Saat itu, mereka ada di hadirat Ilahi yang khusus. Maka, kaum laki-laki tidak boleh memandang wajah yang sedang shalat atau ikram. Siapa yang melanggar berarti siap menerima murka Ilahi dan termasuk orang-orang yang celaka.

Sebab itu, para ulama memerintahkan untuk memasang cadar (kain tipis) ketika kaum wanita melakukan ikram; agar masyarakat awam tidak jatuh dalam murka Allah saat memandangnya.

Selanjutnya Imam Ali Al-Khawash berkata:
“Orang arif, ketika memandang apa yang diperintahkan syariat, yang pertama kali dilihat adalah hikmahnya. Apa yang saya uraikan di atas adalah salah satu dari sekianl hikmah yang tersembunya. Perhatikanlah!”

2. Aurat laki-laki

a. Menurut Abu Hanifah dan Syafii:
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut.

b. Menurut Imam Malik dan Ahmad:
Aurat laki-laki hanya qubul dan dubur. Ini untuk orang-orang yang sangat miskin.

3. Pusar laki-laki bukan termasuk aurat. Bagaimana dengan lutut?

a. Menurut Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafii:
Lutut laki-laki termasuk aurat.

b. Menurut Imam Malik, Syafii dan Ahmad:
Lutut laki-laki tidak termasuk aurat.

4. Aurat wanita

a. Menurut Imam Malik dan Syafii:
Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

b. Menurut Abu Hanifah:
Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki.



c. Menurut Imam Ahmad:
Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah. Sesungguhnya, wajah adalah tempat utama timbulnya fitnah, sekaligus rahasia dalam kewajiban untuk membukanya saat mengerjakan shalat. Tidak adanya larangan dari Syari’ tentang—kemungkinannya—jatuhnya pandangan masyarakat (orang-orang awam) terhadap kecantikan yang terbuka tersebut adalah sebagai peringatan bagi kaum arif; bahwa wanita tidak diperintah untuk menutup wajah kecuali untuk memenuhi kebutuhan, bersama orang-orang yang mampu menjaga rasa malu dan sopan santun. Sehingga orang-orang tersebut tetap mampu menjaga diri dari melihatnya dan tetap bermusyahadah kepada Allah dengan hatinya. Akan tetapi, orang-orang fasik akan selalu berusaha untuk mencuri pandang padanya.

Orang yang punya rasa malu dan sopan santun, ketika pertama kali melihatnya –keadaan—wanita tidak sebagaimana biasanya; dalam keadaan wajah terbuka, segera sadar bahwa wanita tersebut sedang ada dalam hadirat-Nya. Sama sekali ia tidak boleh diganggu. Ia ada dalam perlindungan-Nya seperti anak singa ada dalam dekapan induknya. Inilah rahasia mengapa wanita membuka wajah ketika mengerjakan shalat dan ikram.

5. Sebagian aurat terbuka ketika sedang shalat
a. Menurut Abu Hanifah:
Aurat yang terbuka sebesar (selebar) satu dirham, tidak membatalkan shalat. Lebih dari itu, batal. Ini di-qiyas­-kan pada najis yang dimaafkan, dari segi bahwa keduanya harus dijauhi.

b. Menurut Imam Malik:
Bila seseorang sadar bahwa auratnya terbuka dan ia mampu menutupnya, tapi ia tetap shalat dalam keadaan aurat terbuka, maka batal shalatnya.

c. Menurut Imam Syafii:
Terbukanya aurat, sedikit atau banyak, membatalkan shalat. Di-qiyas-kan pada robeknya khuf; walau sedikit dinilai mudharat.

d. Menurut Imam Ahmad:
Aurat yang tersingkap sedikit tidak membatalkan shalat. Bila banyak, membatalkan. Ukuran banyak atau sedikit tergantung kebiasaan, berdasarkan hadist:
Diangkat—tuntutan hukum—dari umatku, sebab salah dan lupa.” (HR Ibn Hajar dan Khatabi)

Juga sebuah hadist:
Bila aku perintahkan pada kalian tentang sesuatu, kerjakan menurut kemampuanmu” (HR Baihaqi)

Apa yang tidak mampu dikerjakan tidak akan mencemari keabsahan amal yang dilakukan.

6. Shalat dengan telanjang karena tidak punya pakaian

a. Menurut Abu Hanifah:
Orang yang telanjang karena tidak punya pakaian boleh mengerjakan shalat dengan duduk atau berdiri. Tergantung besar kecilnya rasa malu yang bersangkutan.

b. Menurut Imam Malik dan Syafii:
Orang telanjang harus melakukan shalat dengan berdiri serta rukuk dan sujud sebagaimana lazimnya, berdasar hadis:
Bila aku perintahkan pada kalian tentang sesuatu, kerjakan menurut kemampuanmu”. (HR Baihaqi)

Juga berdasar kaidah:
Yang mudah tidak gugur oleh yang sulit

c. Menurut Imam Ahmad:
Orang telanjang melakukan shalat dengan duduk. Rukuk dan sujudnya memakai isyarat. Ini untuk mereka yang sangat malu.

7. Tentang suci dari najis

a. Menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad:
Suci badan, pakaian, dan tempat dari najis termasuk syarat sah shalat.

b. Menurut Malik, ada dua macam:
1. Bila orang tersebut tahu tentang adanya najis, maka tidak sah shalatnya. Bila tidak tahu atau lupa, tetap sah. Ini pendapat Imam Malik yang –dianggap—paling sahih.
2. Orang yang tahu tentang adanya najis dan sengaja shalat dengannya, shalatnya tetap sah. Yang dipentingkan di sini adalah –kesucian—hati, bukan anggota lahir sebagaimana dikatakan dalam hadis:
Allah tidak memandang pada bentuk dan jasadmu, tapi melihat hatimu” (HR Muslim)

Apa yang tidak dipandang atau diperhatikan oleh Allah berarti sesuatu yang mudah (remeh), berbeda dengan hati. Tentang adanya hadis, “Jika engkau haid tinggalkan shalat dan jika telah berhenti mandi dan shalatlah”, tidak bisa dihubungkan dengan masalah ini. Perintah untuk meninggalkan shalat terkadang bukan karena adanya darah, tapi karena ada illat lain dalam haid; karena derasnya darah haid yang tidak berbeda dengan beser (tidak bisa menahan kencing). Maka, wanita kemudian –diperintah—membersihkan darah tersebut, sebelum shalat.

Sebagian mazhab Syafii menyatakan kepada Imam Malik bahwa hadis tersebut menerangkan tentang kewajiban menjauhi najis di luar shalat. Maka, apalagi dalam shalat yang tentu harus lebih diutamakan, dengan illat berlumuran darah.

Akan tetapi, pendapat Imam Malik di atas terlihat lebih mapan. Dikuatkan dengan, pertama, hadis:
Orang junub dan orang haid tidak boleh membaca apa pun dari Alqur’an” (HR Turmudzi dan Ibn Majali)

Di sini, haid dikumpulkan dengan junub, karena junub adalah sesuatu yang telah ditentukan atas badan. Begitu pula denga haid. Kedua, adanya Ijma tentang keharusan mensucikan diri dari hadas, bukan dari najis. Juga adanya keharusan untuk mengusap darah yang lebih dari satu dirham, bukan yang kurang dari itu, bila tidak ada air. Ketiga, tidak ada keterangan yang jelas dari Rasul tentang tidak diterimanya shalat bila “bersama” najis; yang ada justru keterangan bahwa shalat tidak diterima bila berhadas.

Allah tidak menerima shalat kalian yang berhadas, sampai ia berwudhu.” (HR Bukhari, Abu Daud, dan Ahmad)

3. Orang yang terkena najis, sadar atau tidak (tahu atau tidak), batal shalatnya.

8. Mengerjakan shalat di dekat orang junub, tanpa disadari (diketahui)

a. Menurut Abu Hanifah dan Ahmad:
Shalat di dekat orang junub, meski tidak tahu, adalah batal. Ini demi ihtiyat-nya.

b. Menurut Imam Malik dan Syafii:
Shalatnya tetap sah. Allah tidak menuntut pertanggungjawaban kecuali atas sesuatu yang diketahui.

9. Pengetahuan tentang masuk waktu shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad:
Dugaan yang kuat tentang masuknya waktu shalat telah memenuhi kewajiban untuk melakukan shalat.

b. Menurut Imam Malik:
Seseorang harus benar-benar mengetahui masuknya waktu shalat. Tidak sah hanya dengan dugaan, karena dugaan masih mungkin salah.

10. Arah kiblat yang ternyata keliru

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad:
Orang yang telah berusaha mencari arah kiblat kemudian ternyata keliru, tidak wajib mengulangi shalatnya. Ini untuk masyarakat awam.




b. Menurut Imam Syafii:
Orang yang keliru menentukan arah kiblat harus mengulangi shalatnya, bila waktu masih cukup. Ini untuk orang yang bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam masalah agama.

11. Berkata-kata dalam shalat

a. Menurut Imam Malik, Syafii dan Ahmad:
Berkata-kata karena lupa, atau karena tidak mengetahui keharamannya, atau berkata yang tidak banyak, tidak membatalkan shalat.

b. Menurut Abu Hanifah:
Berkata-kata, meski lupa, membatalkan shalat, kecuali salam. Shalat adalah sesuatu yang amat penting dan perbuatan yang telah jelas. Ketidaktahuan tentang perkara shalat tidak bisa dijadikan alasan. Orang tersebut berarti telah meninggalkan kewajiban: mencari ilmu tentang masalah agama.

12. Berkata-kata yang banyak dalam shalat

a. Menurut Imam Malik:
Berkata-kata banyak, demi kemaslahatan seperti mengingatkan imam yang salah yang tidak bisa diingatkan kecuali dengan ucapan, tidak membatalkan shalat.

b. Menurut Imam Syafii:
Berkata-kata banyak membatalkan shalat

c. Menurut Imam Auzai:
Perkataan banyak tapi demi kebaikan, seperti menunjukkan orang tersesat atau menunjukkan adanya bahaya, tidak membatalkan shalat. Kewajiban yang dibebankan kepad kita adalah untuk menolah bahaya. Kaidah-kaidah syariah kenyataannya juga lebih mendahului masalah-masalah seperti itu daripada shalat.

13. Makan dan Minum dalam shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafii:
Makan dan Minum, meski lupa, membatalkan shalat. Itu mengganggu kekhusyukan. hari. Sebab itu, ulama mengharamkan dan memerintahkan untuk makan dan minum sebelum shalat.

b. Menurut Imam Ahmad:
Minum dalam shalat sunnah, tidak membatalkan. Dalam shalat sunnah, seseorang boleh memilih; meneruskan hingga salam atau menghentikannya. Allah memerintahkan pada hamba-Nya untuk khusyuk dalam shalat (fardhu), yang Dia kemudian”menyiramkan” ridha dalam hati mereka, sehingga nafsunya menjadi dingin. Tapi tidak demikian dalam shalat sunnah. Seseorang bisa nyaris pingsan karena kehausan. Sebab itu, ia menyiram dengan air minum. Said Ibn Jabir juga minum ketika mengerjakan shalat sunnah. Imam Thawus berkat, “Tidak apa-apa minum dalam shalat sunnah”.

14. Cara mengingatkan imam yang lupa atau salah

a. Menurut Imam Syafii:
Untuk jamaah laki-laki, mengingatkannya dengan cara membaca tasbih, sedang jamah wanita dengan bertepuk. Hal ini, disebabkan suara wanita dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah.

b. Menurut Imam Malik:
Baik jamaah laki-laki maupun wanita dengan cara membaca tasbih. Ini bila suara wanita tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah, di samping memang tidak ada hadis yang menunjukkan hal itu.

Kedua pendapat di atas, tujuannya untuk mengingatkan imam. Bila kau wanita bisa –tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah—dengan membaca tasbih, itu lebih baik. Bacaan tasbih adalah menyebut Asma Allah yang bisa dipakai di mana pun, berbeda dengan tepuk.

15. Menangis karena takut kepada Allah

a. Menurut sebagian ulama:
Menangis karena takut kepada Allah dalam shalat adalah membatalkan shalat. Orang yang menjalankan riyadhah atau mendengar nasihar dari ayat-ayat Alqur’an, yang menangis seharusnya hati, bukan mata.

b. Menurut sebagian ulama yang lain:
Menangis karena takut kepada Allah tidak membatalkan shalat. Justru semakin menyatukan hari kepada-Nya.

16. Diberi salam orang lain ketika –sedang—shalat

a. Menurut ittifaq imam mazhab empat:
Orang yang –sedang—shalat kemudian diberi salam oleh seseorang, ia sunnah menjawab dengan isyarat. Sedemikian, sehingga hal itu tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

b. Menurut Imam Ats-Tsaury dan Atha’:
Salam tersebut dijawab setelah selesai shalat. Ini demi mementingkan menghadap Sang Khalik daripada makhluk, yang itu bisa dilakukan setelah selesai shalat.

c. Menurut Imam Ibn Musayyab dan Al-Hassan:
Salam tersebut dijawab dengan lafal salam juga. Ini dilakukan untuk menghadapi orang-orang yang belum mengerti, sehingga bila tidak demikian justru dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
17. Melintasnya sesuatu di hadapan orang yang shalat

a. Menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafii:
Melintasnya wanita, anjing atau kendaraan, tidak membatalkan shalat. Ini khusus untuk orang-orang tertentu yang hal-hal tersebut tidak sampai mengganggu musyahadahnya kepada Allah.

b. Menurut Imam Ahmad, Ibn Abbas, Anas dan Ibn Musayyab:
Melintasnya wanita, anjing atau kendaraan bisa membatalkan shalat. Ini untuk orang-orang yang menjadi terganggu kekhusyukan shalatnya. Hikmah pembatalan ini, agar setan tidak memisahkan mereka dari Allah. Setan tidak akan lewat kecuali—akan—merusakkan musyahadah manusia kepada yang Haq. Padahal, siapa yang rusak musyahadahnya berarti rusak shalatnya. Namun, itu tidak terjadi pada para aulia, karena tingkat makrifat mereka kepada Allah. Sedemikian, sehingga mereka tidak melihat sesuatu kecuali di situ ada –tanda-tanda kebesaran—Ilahi.

18. Laki-laki shalat di samping (di dekat) seorang wanita

a. Menurut Imam Malik dan Syafii:
Laki-laki boleh mengerjakan shalat di dekat seorang wanita. Ini untuk orang-orang tertentu yang keberadaan wanita tersebut tidak mengganggu kekhusyukan dan keikhlasan shalatnya. Di samping itu, wanita itu sendiri harus pula mempunyai pribadi yang sempurna, yang dengan itu Allah menolong Nabi Muhammad SAW atas Aisyah dan Hafshah; wanita yang mampu menjadi mahkota dunia, wanita yang mempunyai rasa malu, dan wanita yang –bisa—menjaga serta mengendalikan nafsunya.

b. Menurut Abu Hanifah:
Laki-laki yang mengerjakan shalat di dekat wanita adalah batal. Hati manusia, pada umumnya, terpengaruh oleh keberadaan wanita tersebut, di samping tampak jelas ketidaksempurnaan wanita itu sendiri (mengapa ia berada di dekat kaum laki-laki lain?) Ini untuk orang-orang awam. Adapun para pembesar sufi, sebaiknya juga demikian. Sebab, mereka menyaksikan ketidaksempurnaan maqam wanita tersebut, di samping adanya kecondongan hati kepadanya.

19. Membunuh ular atau kalajengking saat shalat

a. Menurut ittifaq imam mazhag empat:
Orang yang sedang shalat, boleh membunuh ular atau kalajengking; tidak makruh. Ini untuk orang-orang yang masih merasa takut pada selain Allah ketika berada dalam hadirat-Nya.

b. Menurut Imam Nakhai:
Orang yang sedang shalat dilarang membunuh ular atau kalajengking. Hukumnya makruh. Ini untuk mereka yang mampu menahan diri dalam hadirat Ilahi, demi memuliakan-Nya. Mereka tetap bersabar untuk tidak membunuh hal-hal seperti itu sampai selesai shalat. Termasuk dalam ini nyamuk dan kutu.

20. Mengerjakan shalat di tempat-tempat yang dilarang, seperti tempat mandi, kuburan, kandang binatang atau lainnya.

a. Menurut Abu Hanifah dan Malik:
Mengerjakan shalat di tempat-tempat tersebut hukumnya sah, tapi makruh. Tempat shalat bukan hakikat shalat itu sendiri. Ia –hanya—seperti tetangga yang amat dekat, yang bagaimanapun tetap orang lain. Atau, seperti orang yang mengerjakan shalat di samping (di dengan) orang kafir, minuman keras atau yang lain, yang semua itu dianggap kotor oleh Allah.

b. Menurut Imam Ahmad:
Shalat yang dilakukan di tempat-tempat tersebut adalah batal. Ini demi mengagungkan hadira Ilahi; agar seseorang tidak mengerjakan shalat di kuburan, tempat penyembelihan hewan, tempat mandi, tempat pembuangan sampah, kandang binatang, di tengah jalan dan lainnya. Allah adalah Dzat Yang Mahasuci. Tidak boleh seseorang “menemui”-Nya di tempat-tempat seperti itu. Sebaliknya, kita diperintahkan untuk memakai pakaian yang bagus dan parfum demi mengagungkan hadirat-Nya. Karena itulah, para tokoh sufi seperti Abdul Qadir Al-Jilly, Sayyid Ali Ibn Wafa, Syekh Muhammad Al-Hanafi, Syekh Madin, Syekh Abi Al-Hasan Al-Basri dan putranya; Syekh Muhammad, selalu mengerjakan shalat di tempat-tempat yang bagus (mewah) dan penuh bau harum demi memuliakan Allah.

Namun, jumhur ulama lebih suka mengerjakan shalat di tempat yang sederhana karena takut orang lain akan meniru tanpa tahu tujuannya. Sedemikian, sehingga manusia menjadi sombong dan lupa diri.

Adapun tentang makruhnya mengerjakan shalat di atas Ka’bah, tidah bisa dijelaskan kecuali dengan uraiian yang panjang. Jangan tergesa menyalahkan orang lain yang mengerjakan shalat di atas sesuatu yang mewah, atau pada sesuatu yang aneh. Allah mempunyai hamba-hamba yang suci sebagai perhiasan dan orang-orang yang rendah hati sehingga tidak pernah “menampakkan” diri.



Written By M. Novrianto (The owner of this blog)
Adopted from:
Soleh. Ach. Khudori. 2007. Fiqih Kontekstual (Perspektif Sufi-Falsafi) Jilid II Shalat. Jakarta : PT. Perca






Tidak ada komentar:

Posting Komentar