AL-GHAZALI, FILSUF ISLAM TULEN
Ditulis oleh M. Novrianto
Ketika kita teringat kisah kehidupan pada abad pertengahan, tepatnya pada abad kelima Hijriyah di mana kondisi sosial politik umat Islam terpecah-pecah ke berbagai aliran politik yang membawa iklim perdebatan sengit intelektual antar mazhab, membuatkan kita teringat kepada seorang tokoh legendaris dunia Islam, pendekar kaum Sunni, begitu mereka menyebutnya, salah satu tokoh kaum Syi'ah, begitu kalangan Syi’ah meyebutnya.
Iklim perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam diawali dengan percekcokan politik para penguasa ambisius. Para penguasa itu memperalat kaum cendikiawan muslim untuk membela mazhab yang menjadi alat ideologi politik guna memperkokoh kekuasaan politik mereka masing-masing.
Antara al-Ghazali dan Descartes
Sengaja saya tidak banyak menyinggung nuansa politik dan sosial kemasyarakatan. Di sini saya hanya berusaha menelisik sang legendaris, imam besar, Hujjatul Islam, al-Ghazali.
Beliau hidup pada zaman Turki Saljuk. Pengaruhnya sangat luar biasa di kalangan umat Islam di zamanya sendiri hingga dewasa ini.
Kalangan ekstrimis yang menentang kehidupan dunia pemikiran menggunakan nama tokoh ini untuk menyerang para filsuf. Tetapi karena minimnya penguasaan mereka terhadap sepak terjang intelektualitas sang imam, mereka memposisikannya sebagai Top Leader anti filsafat.
Padahal kalaulah kita telisik lebih jauh mengenai sepak terjang sang imam dalam ranah intelektualitas secara keseluruhan, konsep beliau mengenai ilmu logika, materialisme filosofis, serta pemikiran beliau seputar konsep ketuhanan yang tertuang dalam buku “Maqâshidul Falâsifah”, membuat kita terpana. Betapa tidak, beliau berusaha membuka diri terhadap gemerlapnya dunia pemikiran yang berkembang kala itu. Beliau berusaha melakukan berbagai penelitian melalui akalnya sendiri. Spirit modernitasnya muncul dengan corak pemikirannya yang khas; asy-syak al-manhajî.
Menurutnya, jangan pernah menerima kebenaran, kecuali ia betul-betul tampak jelas dan tak menyisakan keraguan di dalamnya, serta tidak mengandung kemungkinan salah atau prasangka (yankasyif-u fîhîl ma’lûm inkisyâf-an lâ yabqâ ma’ah-u rayb-un, walâ yuqârinuh-u imkânul ghalath wal wahm).
Ini senada juga diungkapan Descartes, “Cogito ergo sum”, “Aku berpikir maka aku ada,” yang mengandaikan subyek mandiri, bebas, dan sekaligus sebagai ‘pusat ada’. Kesadaran, dalam filsafat Descartes, menempati posisi segala-galanya.
Pintu masuk untuk memahami filsafat Descartes adalah ‘ragu-ragu’, skeptisisme radikal. Untuk mendapatkan pengetahuan sejati, kata Descartes, kita harus meragukan semuanya, tidak ada satupun yang tersisa kecuali kita yang meragukan. Oleh karena itu, kita harus ‘meruntuhkan’ segenap pengetahuan yang kita miliki, termasuk mencurigai semua kebenaran yang kita terima sedari kecil. Dengan demikian, kata Descartes, kita akan mendapatkan pengetahuan absolut. Pengetahuan absolut/kebenaran sejati hanya didapatkan setelah lolos dari ujian keraguan itu. Pemikiran Descartes ini merupakan maksud dari asy-syak al-manhajî, milik Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Kalau kita telisik tulisan Descartes dalam A Discourse on the Method, kita akan temui 4 prinsip filsafat yang memiliki kemiripan dengan cara-cara al-Ghazali dalam menggali kebenaran;
Pertama, sesuatu tidak disebut sebagai kebenaran kecuali dapat diterima akal, dan tidak mengandung keraguan sedikitpun.
Kedua, mulailah dengan ‘kebenaran’ (aksioma) yang paling sederhana, selanjutnya melangkah pada aksioma yang kompleks
Ketiga, jangan pernah menerima ‘kebenaran’ kecuali setelah melalui eksperimen dan observasi, at-tamhîsh wa at-tafkîr an-naqdî.
Terbuka terhadap segala pendapat, teori, dan pemikiran; tidak terjebak hanya pada satu teori atau pemikiran fanatik; tidak membuang atau mengindahkan pendapat atau teori orang lain, sebelum kemudian melakukan pengujian, pembagian, dan pemilahan.
Al-Ghazali dan Descartes sepakat bahwa pengetahuan sejati -al-‘ilmul hakîkî-adalah pengetahuan absolut, al-‘ilmul yaqînî; absolutely certain knowledge. Untuk mencapai pengetahuan absolut, otomatis harus dilakukan pengujian, penelitian, pemilahan, pembagian, dan seterusnya, sampai betul-betul ditemukan keyakinan dan kepastian.
Sebagai metodenya, Descartes menggunakan metode kesangsian, le Doute Methodique. Kesangsian itu harus berangkat dari dalam diri sendiri, bukan datang atau berasal dari luar, seperti dongeng, pendapat orang, prasangka,dll. Artinya, Descartes menggunakan kesangsian sebagai pintu masuk untuk mendapatkan kebenaran absolut. Kesangsian bukanlah sebuah tujuan, melainkan alat yang digunakan untuk sampai pada tujuan. Intinya adalah pada kesadaran.
Walaupun tidak persis-persis amat, al-Ghazali juga berangkat dari skeptisisme kendatipun pada akhirnya beliau menemukan puncak pemikiran dan metode filsafatnya. Ini bisa dilihat dari pengakuan al-Ghazali di dalam al-Munqidz min adh-Dhalâl:
“... akhirnya aku sampai pada puncak keraguan. Aku tidak menemukan rasa aman terhadap mahsusat. Dalam keraguan itu aku bertanya pada diri sendiri: atas dasar apa aku percaya pada mahsusat? Sebut saja indra penglihatan; saat kita melihat bayangan sesuatu, seolah bayangan itu tidak bergerak. Ia sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya. Padahal, kalau kita teliti secara mendalam, dan membiarkan mata kita terus tertuju pada bayangan itu, kita akan mendapati bayangan itu sebetulnya bergerak, tetapi tidak spontan. Ia secara perlahan-lahan bergeser meninggalkan tempatnya semula. seperti itulah realitas yang disuguhkan oleh mahsusat. Ia menghukumi berdasarkan hukumnya sendiri. Tentu saja akan berbeda dengan hukum akal. Bahkan hukum akal pasti akan mencela dan menganggapnya bohong. Pada akhirnya, kepercayaanku terhadap mahsusat berangsur-angsur runtuh. Aku beralih pada akal. Akal menginformasikan bahwa bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan tiga; nafy dan itsbat, hadits dan qadim, ada dan tiada, tidak mungkin bertemu dalam waktu dan kesempatan yang sama dan bersamaan”.
Begitulah cara akal menghukumi sesuatu. Namun, adakah hukum lain yang akan membantah dan meruntuhkan hukum akal? Imam al-Ghazali menemukan jawabannya melalui pengalaman mimipi. Ketika bermimpi, beliau betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah kenyataan di luar kenyataan indrawi. Namun, begitu terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa dapat dijumpai lagi dalam alam sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar itu tidak berkorespondensi dengan akal maupun pengalaman indrawi. Karena akal maupun indra tidak mampu memahaminya. Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah. (baca: al-Munqidz min adh-Dhalâl, hal. 27)
Di sini al-Ghazali menemukan puncak filsafatnya setelah melewati masa-masa hayrah (skeptisisme). Hanya saja setelah melampaui masa-masa kritis itu, al-Ghazali berhasil menemukan metodenya sendiri, selain empirisme dan rasionalisme, yakni metode intuitif (mukâsyafah). Sementara Descartes menjadikan skeptisismenya itu sebagai metode dalam menemukan kebenaran absolut.
Menurut al-Ghazali, untuk sampai pada pengetahuan sejati, kita jangan mudah percaya dengan segala pengetahuan yang sampai kepada kita, baik yang berasal dari pengalaman maupun akal. Karena itu, al-Ghazali sangat meragukan pengetahuan empirisme maupun rasionalisme. Sebab keduanya, menurut al-Ghazali, sama-sama tidak mendatangkan pengetahuan sejati, al-‘ilmul yaqînî, sehingga tidak mungkin akan sampai pada kebenaran absolut, haqîqatul umûr.
“Secercah cahaya kebenaran hanya akan memancar dari intuisi”; kata al-Ghazali. Di sinilah letak perbedaannya dengan Descartes. Kalau Descartes keragu-raguan itu berakhir pada akal, rasionalitas, sementara al-Ghazali pada intuisi. Pengetahuan intuitif (mukâsyafah), kata al-Ghazali, ibarat cahaya yang memancar dari hati yang bersih sehingga tersibaklah segala pengetahuan. Ia semacam ilham atau wahyu yang datang dengan sendirinya tanpa intervensi akal maupun pengalaman. Di sinilah persamaan dan perbedaan antara al-Ghazali dan Descartes (baca; Ihya` ‘Ulûm ad-Dîn, vol. I).
Konsep pemikiran yang menggabungkan metode akal dan intuisi ini merupakan kriteria gerakan filsafat iluminasi, sebuah gerakan filsafat yang berbeda dari Konsep Pemikiran para filsuf selainnya, yang beliau rangkum dalam sebuah risalahnya yang diberi nama Misykat al-Anwar (baca; Majmû’ah ar-Rasâ`il).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar